Selasa, 27 Maret 2018

PENGARUH KARTUN TERHADAP PERILAKU ANAK

Posted by Unknown on 17.37 with No comments

     Televisi merupakan media elektronik yang mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Media elektronik mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar. Dengan demikian terutama bagi anak-anak yang pada umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak menutup kemungkinan perilaku dan sikap anak tersebut akan mengikuti acara televisi yang ia tonton. Individu dalam masyarakat, berperilaku dengan beberapa pola yaitu :

1. Sugesti, apa yang berkembang dan menjadi nilai umum di ranah publik mempengaruhi tingkah laku atau cara pandang seseorang.
2. Identifikasi, seseorang akan berperilaku dengan mengenal keadaan diri / lingkungan hidupnya.
3. Imitasi, seorang individu berperilaku dan hidup sesuai figur yang menjadi idola, dengan kata lain meniru.

    Dengan kata lain hal-hal di atas adalah salah satu faktor seorang anak meniru atau terpengaruh oleh apa yang disukainya. Mereka membutuhkan seorang figur atau panutan yang bisa mereka banggakan.

Film naruto mengisahkan tentang seorang ninja remaja yang hiperaktif dan ambisius untuk menjadi hokage terhebat. Dalam perjalanannya untuk menjadi ninja yang kuat, Naruto banyak mengalami berbagai petualangan dan pertarungan-pertarungan dengan ninja lain. Disinilah banyak terjadi adegan-adegan kekerasan yang terjadi. Pertumpahan darah, saling membunuh, dan tidak sedikit kata-kata kotor yang dilontarkan oleh para tokoh dalam kisah tersebut. Tentu saja hal-hal semacam ini akan menjadi konsumsi negatif untuk anak-anak. Mereka yang terlanjur menjadikan Naruto sebagai tokoh idolanya akan mencontoh setiap tingkah laku Naruto dalam film tersebut dan menganggap apa yang dilakukan Naruto adalah sesuatu yang hebat. Dengan banyaknya kekerasan yang terdapat dalam film ini sangat memungkinkan menjadikan seorang anak mempunyai khayalan untuk selalu ingin lebih hebat dari yang lainnya dan juga khayalan atau keinginan untuk tampil menjadi jagoan. Menurut teori psikoanalisa dalam pertahanan ego, dorongan dasar mengarahkan orang-orang yang menginginkan untuk selalu menjadi yang paling hebat, untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat, oleh karena itu hal ini mengakibatkan identitas diri mereka menjadi sangat terancam atau mereka mengalami krisis identitas.


    Berdasarkan wawancara singkat dengan adik saya yang berumur 8 tahun, menceritakan bahwa ia dan teman-teman sekolahnya sering mengikuti atau mempraktekkan adegan-adegan pertarungan yang mereka tonton pada film Naruto. Bahkan mereka mengetahui jurus-jurus ninja serta mengikuti gerakan tangan seperti di film Naruto tersebut. Adik saya pun mengatakan terkadang ada temannya yang sungguh-sungguh melakukan adegan pertarungan kepada temannya yang lain hingga temannya yang terkena pukulan atau tendangan tersebut merasa kesakitan. Yang kemudian saling membalas tendangan atau pukulan tersebut.


     Beberapa film kartun yang bertemakan kepahlawanan, dalam memecahkan masalah cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Padahal cara-cara ini relatif sama dengan cara yang tadinya dilakukan oleh musuhnya. Ini dapat berarti bahwa pesan yang tersirat adalah kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula dengan kelicikan serta kejahatan perlu dilawan dengan cara yang sama. Hal ini tentunya dapat menimbulkan atau bahkan secara tidak sengaja menjadikan seorang anak dengan pribadi yang berdampak negatif terhadap lingkungannya.

Walaupun telah dikatakan oleh beberapa para ahli bahwa masyarakat juga mampu menyeleksi tontonan yang mereka lihat atau untuk anak-anak mereka, nampaknya pernyataan ini tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat yang lemah secara ekonomi serta di tambah dengan tekanan hidup yang semakin tinggi mencoba mengalihkan perhatian pada pos-pos hiburan yang menjual mimpi dan angan-angan seperti televisi.

    Orang tua terkadang membiarkan anaknya menonton televisi selama acara yang ditayangkan memang untuk anak seusianya atau dalam hal ini film kartun agar anak tidak mengganggu kegiatan mereka. Orang tua berharap bahwa anak mereka akan berkembang dengan sendirinya karena mendapat cukup stimulasi dari acara tersebut tanpa mengawasinya.Walaupun orang tua sebenarnya mengetahui pengaruh buruk dari menonton televisi bagi anak, mereka lama-kelamaan menjadi terbiasa dan mulailah kebiasaan buruk tercipta di dalam rumah. Namun, para ahli mengatakan anak yang menonton televisi bisa membuat pertumbuhan otaknya berhenti. Kurangnya stimulasi dapat menyebabkan keterlambatan pada perkembangan anak bahkan gangguan yang menetap.
Jadi bagaimanapun juga setiap orang tua bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan anak mereka. Untuk itu, mereka harus lebih kritis dan cermat dalam menentukan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Memang tidak mudah rasanya untuk merubah kebiasaan yang telah berakar dalam keluarga. Akan tetapi terkadang dibutuhkan sebuah keberanian dan tekad untuk sebuah perubahan demi masa depan yang lebih baik.


  • Teori Kultivasi Dan Hubungannya Dengan Pengaruh Film Kartun

Teori kultivasi merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi, dalam hal ini televisi, dengan tindak kekerasan. Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh George Gerbner, yang menurutnya televisi mengkultivasi keyakinan tertentu mengenai kenyataan yang dianggap sebagai sesuatu yang umum oleh konsumen komunikasi massa. Gerbner berpendapat “kebanyakan dari apa yang kita ketahui, atau yang kita pikir kita ketahui, sebenarnya tidak pernah kita alami sendiri secara pribadi”. Kita “mengetahui” hal-hal tersebut karena adanya cerita-cerita yang kita lihat dan dengar di media.

Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi “lingkungan simbolik” kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) catat pula, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari di sekitar kita, tetapi dunia itu sendiri. Gerbner (meminjam istilah Bandura) juga berpendapat bahwa gambaran tentang adegan kekerasan di televisi lebih merupakan pesan simbolik tentang hukum dan aturan.


Teori ini pada awal perkembangannya lebih memfokuskan pada tema-tema kekerasan pada televisi. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Dengan kata lain media mempengaruhi penonton dan masing-asing penonton itu meyakininya. Efek kultivasi memberikan dampak yang sangat kuat pada diri individu. Sama halnya dengan film kartun, film kartun yang anak-anak sukai akan memberikan dampak yang sangat kuat pada diri anak tersebut. Gerbner dan koleganya menyatakan bahwa ini bukan merupakan kasus di mana menonton tayangan program televisi tertentu akan menyebabkan suatu perilaku tertentu tetapi menonton televisi secara umum memiliki dampak yang kumulatif dan menyebar luas terhadap pandangan kita mengenai dunia.


Huesman dan Eron (1986) mengadakan penelitian tentang media violence, mereka meneliti anak-anak dari umur 8 tahun sampai 30 tahun menggunakan metode panel survey. Hasilnya adalah mereka yang menonton kekerasan level tertinggi saat anak-anak lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika mereka dewasa. Selain itu, penelitian tentang media violence juga dilakukan oleh Zillman (1991). Ia mengemukakan teori excitation transfer yang memperkenalkan arousal inducing pada media violence untuk memahami intensitas reaksi setelah menonton. Hasilnya, seorang penonton bangkit rasa marahnya setelah menonton media violence. Arousal atau bangkitnya rasa marah ini dapat ditransfer menjadi kemarahan sesungguhnya dan apabila diintensifkan dapat menimbulkan perilaku agresif.


Seperti yang telah diceritakan pada awal pembahasan, otak anak-anak sangat terbuka dan mudah terpengaruh. Dia akan menerima informasi dari film kartun yang ditontonnya sebagai sebuah kenyataan tanpa menggunakan penalaran apapun, terutama informasi yang berulang beberapa kali. Dan hal itu akan membahayakan bagi seorang anak atau orang tua seandainya informasi yang didapat oleh anak tersebut bersifat negatif. Karena anak-anak akan berpikir bahwa apa yang ada di dalam film kartun tersebut boleh ditiru sebab orang tua mereka mengizinkan untuk menontonnya. Selain itu, seperti yang yang dijelaskan tentang pengarusutamaan yaitu kecenderungan bagi para penonton kelas berat untuk menerima realitas budaya dominan yang mirip dengan yang ditampilkan di televisi walaupun hal ini sebenarnya berbeda dengan keadaan yang sesungguhnya. Jika seorang anak terbiasa menonton televisi dari kecil, ia akan menjadi pecandu berat televisi dan segala hal yang diberitakan oleh media televisi akan dipercaya oleh anak tersebut bahwa apa yang sedang terjadi dalam dunia nyata sama seperti yang diberitakan di televisi.



Jadi intinya, televisi bukan satu-satunya sarana yang membentuk persepsi kita tentang dunia tetapi televisi merupakan sarana yang paling ampuh mengkultivasi konsepsi akan realitas sosial apalagi jika kontak dengan televisi sangat sering dan berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.


0 komentar:

Posting Komentar